Temblan, Batamnews – Untuk waktu yang lama lelaki tua itu tertegun di balkon rumah kayunya. Pagi itu, dia baru saja menerima laporan dari Fadli, anak ketiganya yang sedang melanjutkan usaha perkebunan kelapa.
“Kelapa yang harus dipanen tidak banyak, Ayah. Kelapa sangat mudah rusak.”
Zulfadli -nama lengkapnya- pernah melaporkan hasil panen tersebut kelapa Untuk sekarang. Biasanya dari 200 batang (batang) kelapa miliknya, panen setiap tiga bulan sekali bisa menghasilkan 4.000 hingga 5.000 butir kelapa atau satu pohon kelapa bisa menghasilkan 20-25 buah dalam sekali panen. Namun kini tiap batang hanya 10 knot, atau dari perkebunan kelapanya yang terletak di Sungai Piai, sekitar satu jam perjalanan motor dari rumahnya, hasil panen hanya sekitar 2.000 butir kelapa atau sekitar 2 ton kelapa.
Baca juga: Kekhasan Dialek Melayu di Kepulauan Riau: Menelusuri Ciri Khas Setiap Daerah
Nama lelaki tua itu adalah Muhammad Nasir. Dia saat ini berusia 60 tahun. Punya lima anak. Tinggal di Kampung Hidayat, Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuantan Indragiri. Sekitar 30 menit dengan speedboat dari Kuilibu Kota Kabupaten Indragiri Hilir.
Yang dia pikirkan sejak lama bukan hanya tentang penurunan hasil panen, tapi juga keuntungan dari penjualan hasil panen kelapa yang akan dia dapatkan. Dengan hasil panen sekitar 2 ton dan harga jual Rp. 1.500 per kilo, pendapatan kurang lebih Rp. 3 juta saja. Atau dibagi bulanan, hasilnya hanya Rp 1 juta.
“Hampir rata-rata hasil kelapa yang dimiliki petani di sini turun.” Fadli memberi tahu Nasir pagi itu. Anaknya tidak tahu apa penyebab menurunnya hasil panen para petani di Desa Teluk Dalam.
Baca juga: Batam Terima Zakat dan Infaq Rp 37,6 Miliar Penuh 2023
Menurut Nasir, sudah setahun pengelolaan perkebunan kelapa diserahkan kepada anaknya yang nomor tiga. Penyakit paru-paru yang dideritanya setahun lalu, membuatnya tak kuat pergi ke peternakan. Selain itu, ladangnya cukup jauh dari rumahnya.
Lima Anak Sekolah dari Kelapa
Dua puluh tahun lalu ia mulai menanam kelapa di Sungai Piai. Ada tiga hektar dengan 200 kelapa ditanam. Dari penghasilan 200 butir kelapa, ia bisa menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi.
“Dulu kalau panen bisa dapat Rp 7 juta sampai Rp 8 juta,” kata Nasir yang bercita-cita memulai usaha kelapa.
Dari uang yang dialokasikan untuk pendidikan anak-anak mereka, sisanya untuk makan. Anak pertama dan kedua mereka Taufik dan Mujitorahman lulus kuliah dan sudah menikah dan bekerja. Zulfadli, anak ketiga yang lulus kuliah, belum menikah. Anak keempat Sufian Sauri masih kuliah dan anak kelima Hakim Saputra duduk di bangku kelas 12 SMA di Tembilahan.
Baca juga: Jangan salah, AC mobil tidak selalu dingin karena freon
Untuk menambah penghasilannya menjelang panen kelapa, ia mencari ikan di Sungai Indragiri.
Dari hasil menjual kelapa, ia juga bisa memiliki rumah di Kampung Hidayat. Sebuah rumah sederhana tak jauh dari makam Tuan Guru Syekh Abdurrahman Siddiq atau akrab disapa Tuan Guru Sapat.
Sekarang kondisinya berubah drastis, hasil panen turun, harga turun. Sementara itu, ancaman gelombang pasang terus mengganggu perkebunan kelapa miliknya dan petani lain di Teluk Dalam.
Meski keadaannya terbalik, Nasir dan kini dilanjutkan oleh putranya, tidak bertahan hidup sebagai petani kelapa.
“Karena itulah yang kita miliki sekarang. Apa lagi yang bisa kita lakukan?” katanya.
Dia hanya berharap pemerintah bertindak membantu.
Baca juga: Besok Masuk Kerja, Pelabuhan Karimun Penuh Penumpang Kembali Lebaran
Hal senada juga diungkapkan Muhadi dan Abdi. Dua petani kelapa di Desa Teluk Dalam.
“Kalaupun harga turun dan hasil panen turun, kami tidak bisa meninggalkan perkebunan kelapa. Itu saja yang ada untuk saat ini. Pinang muda yang diharapkan bisa membantu, juga melemah,” kata Muhadi, ayah dua anak ini.
Menurut Abdi, petani muda berusia sekitar 30 tahun, dengan harga kelapa di tingkat petani saat ini Rp 1.500 per kilo, banyak perkebunan kelapa yang tidak lestari. Tidak ada pemupukan atau pengendalian hama.
Sedangkan ancaman jebolnya tanggul akibat naiknya air hanya bisa mereka lakukan secara manual, dengan gotong royong.
“Kalau harga kelapa Rp 2.000 per kilo di tingkat petani, kami bisa alokasikan dana untuk menyewa alat berat untuk memperbaiki tanggul yang rusak,” kata Abdi yang memiliki 300 butir kelapa.
Tangga Terjepit Jatuh Juga
Sudah jatuh, masih tertimpa tangga. Perumpamaan ini saat ini dialami oleh para petani kelapa di Indragiri Hilir, Riau. Yang mengalami perumpamaan ini bukan hanya satu dua orang, Nasir, Abdi atau Muhadi, melainkan 450 ribu warga Indragiri Hilir.
Baca juga: Kondisi Terkini di Kepulauan Mentawai pasca gempa M 6,9
Data sensus penduduk Indragiri Hilir tahun 2020 sebanyak 654.909 jiwa, sekitar 67 persen atau 458.437 jiwa menggantungkan mata pencahariannya pada kelapa. Mereka mengelola dan memiliki sekitar 340.778 hektar perkebunan kelapa dari 389.037 hektar perkebunan kelapa di Indragiri Hilir. Sekitar 48.264 hektar dimiliki oleh perusahaan yang menanam kelapa hibrida.
Luasnya perkebunan kelapa di Indragiri Hilir tak ayal membuat kabupaten ini mendapat julukan “Tanah Kelapa Dunia”.
Baca juga: Ini Penyebab Gempa Mentawai Magnitudo 6,9
Tapi julukan itu hanya sumber kebanggaan, di dalam hati para petani menjerit.
Setelah menikmati kejayaan harga tinggi saat Festival Budaya Kelapa digelar di Inhil pada 2017 lalu, para petani akan menikmati harga hasil panen yang tinggi. Harga kelapa saat itu mencapai Rp 3.400 per kilo.
Setelah itu turun. Bahkan di tahun 2020 ini harga kelapa sudah mencapai titik terendah yakni Rp 600 per kilo. Banyak anak petani yang kuliah putus sekolah. Harganya tidak pernah naik di atas Rp 2.000 di tingkat petani sampai sekarang.
Baca juga: Misteri Kematian Saudara Lovina inn Lovina Sedikit Terungkap, Polisi: Potong Tangan
“Karena harga kebutuhan pokok terus naik, hasil panen kami terus menurun,” kata Mulyadi, petani kelapa di Desa Teluk Kabung, Kecamatan Gaung.
Mulyadi membandingkan membeli 20 kg beras dengan menjual 20 kg kelapa.
“Beras 20 kg Rp 250.000, sedangkan kelapa 20 kg hanya Rp 28.000. Kami hanya akan mengambil 2 kilo beras untuk panen,” tambahnya.
Baca juga: Dua wanita tewas di kamar Lovina Inn Lubuk Baja Batam, polisi: kunci pintu kamar dari dalam
Dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit, Mulyadi seperti petani kelapa lainnya tak bisa lepas dari kenyataan hidup.
Meski harga kelapa murah, Mulyadi tetap bekerja memanen kelapa tua di kebun. Panas terik matahari dan keringat yang bercucuran tidak menyurutkan semangatnya. Dia tetap yang ‘memukul kail’ untuk memanen kelapa bulat di tanah warisannya.
Cerita patah hati juga datang dari Desa Tasik Raya, Kecamatan Batang Tuaka. Iyan, salah seorang petani di sana mengaku petani terpukul dengan harga jual kelapa yang kurang dari Rp 2.000 per kilo.
“Satu tahun harga jual kelapa serendah Rp 2.000. Kondisi ini sangat memukul masyarakat karena satu-satunya sumber mata pencaharian kami adalah kebun kelapa,” kata Iyan.
Baca juga: 9 Hidden Gems di Batam yang Jarang Diketahui Wisatawan
Juhari, generasi ketiga pemilik sekitar 9 hektar atau 800 butir kelapa di Parit 15, Kabupaten Kuantan Indragiri, mengatakan kondisi petani kelapa di Indragiri Hilir saat ini sulit.
Ayah satu anak ini mengakui harga jual di tingkat petani sekitar Rp 1.500-Rp 1.600 per kilo, jauh dari cukup. Apalagi, panen kelapa dilakukan setiap tiga bulan sekali. Sebelum dan selama panen, petani harus membayar untuk pemotongan, pemupukan, perontokan, dan perobekan. Kemudian ada biaya pompong untuk mengangkut kelapa ke luar ke pengepul.
Dijelaskan Juhari, jika seorang petani hanya memiliki 100 butir kelapa, ia hanya bisa mendapatkan hasil 1 ton. Dengan harga jual Rp 1,5 juta, petani hanya mendapat bersih sekitar Rp 600.000. Setelah dikurangi biaya produksi dan biaya transportasi pompong sekitar Rp 300.000 ke pengepul.
“Setelah menunggu selama tiga bulan, Rp. Anda hanya akan mendapatkan 600.000 atau Anda hanya akan mendapatkan Rp. 200.000 per bulan. Apa yang harus dibeli dan bagaimana membayar kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya,” tanyanya.
Baca juga: Gelombang Kedua PHK di Walt Disney, 4 Ribu Pekerja Di-PHK
Wajar jika banyak kelapa yang terabaikan oleh petani. Kanal-kanal itu tidak diawetkan. Mereka hanya fokus memperbaiki tanggul yang rusak sebaik mungkin. Rusak sebagian dapat dilakukan. Rusak parah, biarkan air masuk ke kebun. (denirisme)